Sunday, October 28, 2018

Sebuah Refleksi Ekoteologis dari Lagu “Guna Manusia – Barasuara”


Guna Manusia - Barasuara
Nak
Di permukaan
Yang tenggelam
Kita
Melanjutkan
Kehidupan

Mengarungi arah pusaran
Menangisi sisa lautan
Memanaskan daratan

Mencari guna manusia
Tiap langkah rusak semua
Mencari celah adaptasi

(back voice)
Cengkareng Barat 26,6 cm
Pantai Mutiara 24,7 cm
Ancol 12,9 cm
Kelapa Gading 20 cm
Kebayoran Baru 13,9 cm

Hitung mundur gerus tepian
Hingga hunian tinggal lautan

Memanaskan dunia
Mencair di utara
Kita di ujung masa

Kita mencari celah
Untuk bertahan
Mencari ruang
Kita mencari celah
Untuk bertahan
Mencari ruang
Kita mencari celah
Adaptasi
Mencari guna manusia
Tiap langkah rusak semua
Mencari guna manusia

Tiap langkah rusak semua



Belum lama ini, grup band indie asal Indonesia (yang lagi booming), Barasuara, mengeluarkan single terbaru berjudul Guna Manusia. Sebuah judul yang menarik. Memang, jika ditilik ke sejarahnya, Barasuara selalu mengeluarkan judul lagu yang kadang membuat orang kebingungan (bahkan sedikit nyeleneh). Sebut saja Tarintih, Taifun, Samara, juga bahkan Masa Mesias Mesias. Di atas tadi adalah lirik dari lagu Guna Manusia. Secara sekilas dapat terlihat bahwa lagu ini mempertanyakan apakah guna manusia di dunia ini? Iga Massardi (vokal-gitar) dengan bantuan oleh Gerald Situmorang (bass-gitar), dalam menciptakan lagu ini, memiliki refleksi bahwa banyak hal penting di sekitar manusia yang terlupakan dan apa yang manusia lakukan saat ini adalah salah. Sehingga muncullah pertanyaan tadi, “Apakah guna kita sebagai manusia?”
Pada lirik awalnya, Barasuara ingin menyampaikan bahwa bumi ini sudah tenggelam dan manusia tetap melanjutkan kehidupan tanpa ada perasaan apa pun. Manusia mengarungi lautan yang sudah rusak secara ekologis, juga memanaskan daratan (hutan yang terbakar). Barasuara mulai mempertanyakan apakah guna manusia jika semua langkahnya (semua yang manusia lakukan) adalah merusak alam ini. Bukannya memperbaiki alam ini, manusia malah mencari-cari cara bagaimana untuk beradaptasi pada alam yang sudah rusak.

Menarik pada bagian interlude, Barasuara tanpa segan memasukkan data terkait dengan kerusakan ekologis yang mungkin ini adalah data terkait banjir atau terkait dengan penggerusan tanah yang ada (di Cengkareng Barat, Ancol, Kebayoran Baru, dll). Kedua hal tadi dikaitkan dengan pemanasan global yang terjadi di dunia yang akhirnya menyebabkan es yang ada di utara (Kutub Utara), menjadi mencair dan menyebar ke laut-laut di seluruh bumi ini. Lalu mengakhirinya dengan tanggapan bahwa kita berada di ujung kehancuran.

Pada akhir dari lagu Guna Manusia, Barasuara menyampaikan bahwa manusia hanya mencari celah atau solusi sederhana tentang alam ini. Manusia tidak memikirkan masalah jangka panjang namun menekankan pada adaptasi, adaptasi, dan adaptasi. Bagaimana manusia beradaptasi pada situasi yang seperti ini? Ketika bumi sudah rusak, bukankah manusia juga rusak?

Menarik ketika Barasuara melihat bahwa permasalahan ekologis adalah permasalahan yang sangat berbahaya saat ini, namun sering kali dilupakan oleh manusia modern. Manusia ini hanya akan meninggalkan warisan yang tidak menyenangkan kepada manusia yang akan datang nantinya. Menurut pandangan Kristen, saat ini alam haruslah berada pada posisi yang sejajar dengan manusia. Bukan saatnya lagi manusia mengeruk tanah-tanah di alam tanpa ada proses pertanggung jawaban lebih lanjut. Bukan saatnya lagi manusia membakar hutan-hutan yang ada tanpa ada proses pertanggung jawaban. Sudah bukan saatnya lagi manusia menangisi sisa lautan (sisa alam) yang ada. Sekarang adalah saatnya manusia bergerak selangkah lebih maju dalam pemikiran ekologis bahwa yang patut dipersalahkan sepenuhnya adalah manusia dan pemahaman antroposentrisme-nya.

Etika manusia dalam memperlakukan alam memang selama ini salah. Bukan hanya terkait dengan membuang sampah sembarangan, tetapi lebih besar lagi. Masalah pembabatan hutan yang dilakukan oleh pihak terkait terkadang tidak memikirkan efek samping yang akan terjadi. Mungkin efek yang akan terjadi sudah sedikit dipikirkan, namun pemikiran terkait hal itu pasti akan dikalahkan oleh pemikiran terkait dengan masalah uang. Uang, uang, dan ya uang. Tanpa memikirkan masalah ekologis yang ada, manusia mementingkan uang. Tanpa memikirkan masalah bahwa alam ini adalah ciptaan Allah juga, manusia mementingkan uang. Anggaplah semua orang Kristen rajin beribadah dan memiliki spiritualitas yang sangat kuat. Alhasil orang Kristen pun terfokus pada penyembahan dan melayani Allah sehingga tidak sadar jika apa yang dilakukannya selama ini, bukanlah cerminan dari penyembahan dan melayani Allah. Apakah justru karena orang Kristen terfokus pada melayani Allah, kita lupa untuk melayani sesama kita? Alam memang sesama manusia, tidak bisa dipungkiri, alam hidup bersama-sama dengan manusia. Seharusnya manusia mengedepankan semangat untuk saling melayani, bukan hanya antar sesama manusia, namun dengan alam yang sudah diciptakan oleh Allah juga bersama-sama dengan manusia.

Melayani alam sebagai sesama tanpa mengharapkan imbalan apa pun. (jdr)

0 comments:

Post a Comment